Kurangi Emisi Turunkan Pemanasan Bumi

Ngerasa gak sih kalau Bumi ini semakin panas, gerah, dan air laut kok kayaknya semakin naik? Beberapa berita mulai bermunculan satu diantaranya Prediksi Jakarta Akan Tenggelam 10 Tahun Lagi, yang dimuat pada laman berita Kompas.com hal ini tidak lain dan tidak bukan karena perubahan iklim yang ekstrem dimana jumlah emisi/jejak karbon yang semakin meningkat jumlahnya dan menyebabkan naiknya air laut.

Ditambah lagi beberapa data mengatakan bahwa adanya penurunan tanah di Kota Jakarta sudah sejak tahun 1997, bahkan bisa mencapai 20 cm per tahun. Ditambah potensi banjir, ditambah jumlah penduduk yang semakin padat, ditambah kebakaran hutan, ditambah pandemi COVID-19.

Duh, sudah dong jangan ditambah-tambah lagi, please šŸ˜·.

Sedih? Mengerikan? Cemas? Jangan ditanyakan lagi bukan hanya saya yang merasakannya, sudah pasti akibat Bumi yang semakin panas ini banyak orang yang sakit, meninggal dunia, bahkan hilangnya tempat tinggal, dan masih banyak lagi. Saya pernah menemukan sebuah ilustrasi di media sosial yang dibuat oleh @stuffmap.garage yang menggambarkan daerah Pulau Jawa jika permukaan air lautnya naik hingga 1.000 meter.

Ilustrasi Kepulauan Jawa jika permukaan air laut naik hingga 1.000 meter | Sumber Gambar: instagram.com/stuffmap.garage

Bayangkan saja, yang tersisa hanya gunung-gunung tinggi yang ada di Pulau Jawa, gunung/daratan tinggi tersebut akhirnya menjadi pulau sendiri-sendiri, dimana yang dulu memiliki suhu dingin bisa menjadi hangat. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat, mana cukup manusia tinggal di pulau-pulau kecil ini. 

Sungguh, kita pasti tak ingin hal itu terjadi bukan?

Bicara soal perubahan iklim Bumi yang semakin panas pun, sempat kami diskusikan saat acara Blogger Gathering ke-4 Komunitas Eco Blogger Squad pada Jum’at 15 Oktober 2021 kemarin. Bersama Kak Anggalia Putri Permatasari (Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan) dengan tema: “Bumi Semakin Panas, Kode Merah Untuk Kemanusiaan”.

Saat acara gathering seperti biasa pembiacaraan kami tidak jauh-jauh dari isu lingkungan, diawali dengan saling bertanya kabar, kuis, serta pemaparan materi yang paling utama. Disini Kak Anggalia Putri Permatasari (yang senang disapa Anggi), mengajak kami anggota Eco Blogger Squad berdiskusi mengenai kabar bumi yang memang semakin panas suhunya, dan saling sharing tentang bagaimana cara kita untuk mengatasinya.

Bedasarkan laporan ke 6 dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang disampaikan Kak Anggi berjudul CODE RED FOR HUMANITY yang sempat menjadi highlight di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Laporan tersebut berisi rangkuman keadaan iklim dunia saat ini, dan yang paling utama adalah:

  • AR6: Bumi memanas lebih cepat, sudah pasti akibat perbuatan manusia.
  • Krisis iklim: terus meluas, makin cepat, makin intensif, dan munculnya beberapa fenomena alam yang belum pernah disaksikan sebelumnya (unprecedented).
  • Dalam semua skenario emisi, batas aman 1,5Ā°C akan terlampaui pada awal tahun 2030-an.

Laporan ini bukan hanya ditujukan oleh pemerintah di masing-masing negara saja, tapi untuk semua makluk di Bumi terutama manusia. Laporan IPCC menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim akan menjangkau semua kawasan di dunia tanpa terkecuali, sehingga kerugian manusia dan ekonomi yang diakibatkan akan sangat besar bahkan jauh lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk mengambil tindakan sekarang.

FYI, Laporan IPCC merupakan laporan ilmiah yang memberikan informasi mengenai kondisi Bumi soal krisis iklim yang dikeluarkan setiap tahun, disusun oleh berbagai komunitas peneliti perbahan iklim yang didirikan oleh PBB sejak tahun 1988.

Suhu Bumi diperkirakan akan naik 1,5Ā° Celcius pada tahun 2030. Ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai bencana bukan hanya kenaikan permukaan air laut, tapi juga dapat terjadi kebakaran hutan, perubahan pola curah hujan, erosi pantai, dan masih banyak lagi.

Sudah dipastikan 10 tahun ini adalah dekade penentu dalam upaya membatasi kenaikan suhu di tingkat 1,5Ā°C. Kalau kita secara kolektif gagal membatasi emisi pada dekade 2020-an maka kita tidak akan bisa membatasi pemanasan di tingkat 1,5Ā°C.

Jika itu terjadi, cuaca ekstrem yang kita hadapi hari ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dampak yang akan terjadi di kemudian hari.

Risk of Climate Change Ā© WWF Madagascar | Sumber Gambar: wwf.panda.org
Implications for Biodiversity of Global Warming | Sumber Gambar: wwf.panda.org

Dampaknya apa? Sudah jelas sekali di depan mata, seperti yang saya sebutkan diatas contohnya banjir, kebakaran hutan, musim panas dan penghujan yang tidak bisa diprekdisi lagi, dan lain sebagainya. Kabarnya pemanasan Bumi ini merupakan angka tertinggi dalam dua juta tahun terakhir, kenaikan permukaan air laut tertinggi selama 3000 tahun karena melelehnya glesier di kutub utara.

Fenomena inilah yang dimaksud keadaan alam yang tidak bisa dikembalikan seperti semula alias irreversible.

Kabarnya PDB (Produk Domestik Bruto) akan hilang 2,5-7% pada 2100 karena krisis iklim, dan kelompok termiskin sudah pasti terkena dampak paling berat, karena akses mereka paling dekat dengan daerah rawan bencana. Bagi masyarakat urban mungkin dapat menggunakan AC di ruangan tanpa rasa gerah, atau bisa saja pergi dari pusat kota untuk menikmati udara sejuk dan tinggal disana.

Tapi tapi, masa iya semua orang juga ikut pindah? It’s not solution! 

“Ah, hanya 1 gelas plastik doang kok”, kata 8 miliar orang di dunia ini.

Hal-hal kecil yang tanpa kita sadar dapat berdampak buruk dan cukup menyumbang jumlah emisi/jejak karbon dunia. Seperti penggunaan AC non-stop, menggunakan plastik sekali pakai, membuang sisa makanan, dan masih banyak lagi.

Kita memang tidak bisa menghentikan kebiasaan ini 100%, tapi kita dapat menguranginya secara pelan-pelan dengan menerapkan kebiasaan baik yang ramah lingkungan, dan menekan jumlah emisi dengan melakukan aktivitas alam yang bekelanjutan seperti restorasi & rehabilitasi ekosistem alam, termasuk hutan, mangrove, lahan gambut.

Mengurangi emisi dan jejak karbon dapat membantu memperbaiki lapisan bumi dan mengurangi pencairan gletser yang berdampak baik bagi bumi. 

Tentunya kita masih punya waktu dan kesempatan, jangan menunggu lagi sekaranglah saatnya sebelum kode merah ini benar-benar menjadi sesuatu hal yang mengerikan bagi kehidupan manusia di Bumi. Menurut Kak Anggi ada beberapa cara yang dapat dilakukan, berikut diantaranya:

  • Stop penggunaan batubara & beralih ke energi bersih terbarukan (tenaga surya, angin, dll).
  • Lindungi hutan alam tersisa + tekan deforestasi.
  • Jangan buka gambut & cegah karhutla.
  • Restorasi & rehabilitasi ekosistem alam, termasuk hutan, mangrove, gambut.
  • Adaptasi, terutama untuk kelompok rentan.
  • Kurangi jejak karbon: food, fashion, fuel.
  • Organize & mobilize! Termasuk dengan menulis.
  • Tuntut perubahan sistemik.
  • Harus bergerak bersama, all hands on deck!

Mana nih yang sudah kamu lakukan? Nah, setiap orang punya caranya masing-masing sesuai dengan passion misalnya desain grafis, traveler, fashion, kuliner, melalui artikel ini saya juga ingin berbagi sedikit beberapa cara untuk membantu menurunkan emisi/jejak karbon dari hal-hal yang ada disekitar kita.

Pertama, kita mulai dari hal yang kecil, yang paling dekat, dan digunakan setiap hari terutama bagi penggiat digital seperti blogger yaitu menghapus e-mail tidak penting setiap hari. Nah, upaya yang satu ini mungkin sangat jarang dilakukan oleh sebagian besar orang.

Padahal faktanya menghapus pesan atau sampah digital yang masuk ke gawai pintar (gadget) ini dapat menghemat energi dan data dari jarak jauh dan tentunya akan ramah lingkungan.

Kedua, mulai untuk tidak menyisakan makanan. Walaupun upaya seperti ini terdengar cukup mudah dikerjakan, tapi ternyata dapat berdampak baik bagi lingkungan. Karena berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sisa makanan dapat menyebabkan tanah mengandung gas metana yang berbahaya bagi atmosfer Bumi.

Mulai saat ini, yuk ā€˜ambil secukupnya-makan-habiskanā€™ pastikan tidak ada yang terbuang apapun yang terjadi, jika tidak habis kamu dapat membawa alat/wadah makan sendiri untuk dibawa pulang (tolak penggunaan plastik karena plastik tidak dapat diurai hanya berubah menjadi microplastik yang tetap mencemari). 

Ketiga, stop membeli pakaian tren (fast fasion). Industri fashion adalah salah satu yang paling mencemari lingkungan dan penyumbang polusi terbesar di dunia, seperti polusi air, tanah, maupun penghasil gas emisi karbon (dalam proses produksinya) yang dapat menyebabkan climate change.

Kain yang membusuk akan melepaskan gas metana ke udara, yang tentunya berkontribusi besar terhadap pemanasan global.

Kita dapat beralih, daripada membeli pakaian tren (fast fashion) mending beli pakaian yang awet (meskipun mahal), atau bisa mix & match pakaian bekas yang sudah lama menjadi pakaian baru. Bukan hanya menghemat uang tentunya kita juga dapat memperpanjang usia pakaian.

Untuk meminimalisir sampah fashion atau sampah plastik, kita juga dapat memanfaatan hasil alam yang ramah lingkungan sekaligus produk-produk kerajinan masyarakat lokal seperti Noken, Koja, Anjat yang terbuat dari kayu pohon atau rotan. 

Masih banyak cara lainnya untuk mengurangi emisi/jejak karbon di lingkungan kita, seperti yang telah di sebutkan kita dapat mengganti bakan bakar ramah lingkungan dan terbaharukan, jangan dukung industri yang mencemari lingkungan seperti batu bara dan minyak, mulai bergerak gunanakan transportasi umum.

Kalau kamu gimana, punya cara untuk mengurangi emisi/jejak karbon juga? Share yuk di kolom komentar. Agar semakin banyak yang mendukung dan #BergerakBersama, kita kurangi jejak karbon agar Bumi tidak semakin panas. Be awesome and save nature! YUK JADI GENERASI MUDA YANG CINTA DENGAN ALAM! 

#EcoBloggerSquad #MudaMudiBumi #UntukmuBumiku #TimeforActionIndonesia

Share this post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *