Biofuel, Ketahanan Energi dan Komitmen Iklim

Secara sadar atau tidak kehidupan sehari-hari kita ini tidak lepas dengan yang namanya penggunaan energi, ibarat sebuah tubuh bakan bakar ini sebagai makanan yang merupakan sumber energi untuk tetap bisa bergerak. Bergerak untuk tetap hidup melalui berbagai aktivitas seperti rumah tangga, usaha mikro, industri, komersial, transportasi, pelayanan umum, bahkan pembangkit listrik.

Bahan bakar dapat diperoleh dari beragai sumber, dan yang terbesar saat ini adalah minyak bumi, dimana untuk memperolehnya melalui proses penggalian sisa-sisa fosil yang tertimbun selama ratusan tahun. Kemudian dibagi lagi menjadi berbagai jenis bahan bakar seperti avtur, bensin, solar, gas, minyak tanah, dll.

Aktivitas Transportasi di Kota Pontianak

Memang ketersediaan bahan bakar tersebut masih dapat dikatakan aman untuk saat ini, tapi kita juga tidak bisa pungkiri bahan bakar yang digunakan terus menerus ini bakalan habis. Secara selama ini kita hanya menggali, menyedot, dan mengambil kemudian dipakai sebanyak-banyaknya tanpa didaur ulang.

Belum lagi dampak lain seperti emisi yang dihasilkan dari bahan bakar tersebut, penebangan hutan untuk pembukaan lahan tambang/perkebunan kelapa sawit, pencemaran udara hingga laut. Pernahkah berpikir yang sama, apa jadinya ya hal tersebut terus dilakukan? Bencana Alam, Krisis Bahan Bakar, Perubahan Iklim. Lalu bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia saat ini?

Banyak pertanyaan memang, sekarang ini PR penting kita adalah bagaimana mengatasi permasalahan lingkungan tapi ketahanan energi tetap terjaga dan apa cara kita untuk ambil bagian untuk bumi agar tetap menjadi tempat yang layak huni.

Apakah ada alternatif lain, tentu saja ada! Berbagai organisasi baik itu pemerintahan, pendidikan, bahkan oragisasi internasional juga terus berusaha menemukan alternatif lainnya baik berupa teknologi, penemuan, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang diatur dalam undang-undang.

Satu diantaranya adalah penggunaan BIOFUEL (BBN) sebagai bahan bakar ramah lingkungan, dengan kebijakan komitmen dalam keamanan energi dan iklim di Indonesia. Beruntung saya dan teman-teman bagian dari Eco Blogger Squad punya banyak kesempatan untuk belajar bersama saat Blogger Gathering yang ke-5 pada 12 November 2021 kemarin dengan tema “Mengenal Lebih Jauh Tentang Biofuel”.

Online Gathering Eco Blogger Squad

Dengan menghadirkan pembicara yang profesional yakni: Kak Kukuh Sembodho selaku Program Assistant Biofuel dari Yayasan Madani Berkelanjutan, dan Kak Ricky Amukti sebagai Engagement Manager dari Traction Energy Asia.

Sekilas tentang Yayasan Madani (Manusia dan Alam untuk Indonesia Berkelanjutan) merupakan organisasi non profit yang bersinergi untuk menjembatani hubungan antar pemangku kepentingan, seperti: pemerintah, perusahaan swasta, dan masyarakat sipil dengan tujuan mencapai solusi inovatif terkait tata kelola hutan dan lahan. Sedangkan Traction Energy Asia adalah lembaga self independent memiliki fokus pada isu transisi menuju energi bersih dan terbarukan yang berbasis di Indonesia dengan fokus regional di seluruh Asia. 

Pertama, Kak Kukuh yang menjelaskan Kebijakan Bahan Bakar Nabati dan Komitmen Iklim Indonesia lengkap dengan hal-hal penting yang harus diperhatikan terutama soal Keamanan Energi, Pembukaan Lahan, serta Komitmen Iklim di Indonesia saat ini.

Apa itu BIOFUEL?

Sebelum mengenal lebih jauh apa itu BBN? Berdasarkan Permen ESDM 25 Tahun 2013, Pengertian Bahan Bakar Nabati atau BIOFUEL merupakan bahan bakar yang bersumber dari bahan-bahan nabati yang dihasilkan dari bahan-bahan organik lain, kemudian ditataniagakan sebagai Bahan Bakar Lain.

Secara garis besar, BIOFUEL adalah bahan bakar dari biomassa atau materi yang berasal dari tumbuhan dan hewan, namun lebih cenderung dari tumbuhan. BIOFUEL itu sendiri sebenarnya dibagi lagi menjadi beberapa jenis, seperti: bioetanol, biodiesel, dan biogas. Apakah itu? Berikut penjelasan singkatnya:

  • Bioetanol merupakan bahan alkohol yang bersumber dari berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti ubi, singkong, jagung, tebu, gandum, sampai limbah sayuran.
  • Biodiesel sendiri yaitu bahan bakar yang sengaja dibuat berbahan minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak rapeseed (tumbuhan bunga berbiji marga Brassica berwarna kuning), lalu minyak buah jarak, hingga minyak bunga matahari.
  • Terkahir, Biogas yaitu bahan bakar nabati yang bersumber hasil fermentasi dari sampah tumbuhan atau kotoran (manusia atau hewan).

Secara umum, BIOFUEL terdiri dari tiga generasi turunan, yaitu:

  1. Generasi pertama, untuk negerasi ini terdiri dari bioetanol dan biobutanol yang berasal dari proses fermentasi pati seperti jagung, tebu, dan kentang; serta biodiesel yang berasal dari reaksi pemisahan reaksi dari tanaman penghasil minyak seperti sawit. 
  2. Generasi kedua, terdiri dari bioetanol, biobutanol, dan biodiesel yang mirip seperti generaasi yang pertama. Namun, dibedakan dengan bahan bakunya berupa limbah, produk samping (sumber pati), serta minyak alternatif. Sebagai contoh: bioetanol dan biobutanol dibuat dari produk pengolahan gula (molases), atau biodiesel yang dibuat dari minyak goreng bekas (jelantah) hingga minyak jarak.
  3. Generasi ketiga, adalah biodiesel, bioetanol, dan hidrogen yang diperoleh dari rumput laut, mikroalga, serta mikroba.

Diantara ketiganya, jenis BIOFUEL yang paling umum di Indonesia adalah Biodiesel. Secara praktik, biodiesel sengaja dicampurkan ke solar dengan perbandingan tertentu yang terus meningkat secara berkala. Kemudian penamaannya diawali dengan huruf B dan diikuti angka yang mewakili persentase biodiesel yang dicampurkan. Contohnya B10, B20, sampai B100.

Di Indonesia sendiri, saat ini bisa sampai ke B30 ssudah melalui perjalanan waktu yang cukup panjang loh!

Sejak tahun 80an istilah BIOFUEL ini sudah ada, nah sedangkan di Indonesia sendiri sekitar 2006 baru muncul. Selaras dengan hadirnya Inisiasi Program BBN lewat KEN (Kebijakan Energi Nasional), kemudian Inpres 1/2006, dan Timnas BBN.

Lalu di tahun 2008 dibuatlah roadmap tentang BBN. Dimana ada kewajiban pembauran energi yaitu pencampuran bakar nabati dengan bahan bakar fosil, dari mulai B10, B20, B30 dan seterusnya. Jika kamu penasara coba deh perhatikan di SPBU bahan bakar yang punya kode B10, B20, B30, nah itulah biofuel. 

Kemudian tahun 2015 ada target mencapai B30. Tapi tentu saja semua proses ini tetap direalisasikan secara bertahap yang berawal dari B10, B20, hingga B30. Kemudian, di tahun yang sama sambil dilakukannya implmentasi kebijakan B30. Oh iya, tahun 2016, kebijakan biofuel ini mulai muncul dalam NDC (Nationally Determine contribution) pertama Indonesia.

NDC merupakan dokumen komitmen iklim yang dideklarasikan oleh suatu negara untuk ikut dalam penurunan emisi secara global. Dalam dokumen tersebut, BBN dianggap sebagai salah satu strategi dalam menurunkan emisi di Indonesia, dokumen ini terus diperbarui hingga tahun 2021.

Lantas, Apakah Fungsi dari BIOFUEL ini? Tentu saja untuk memastikan:
ketersediaan bahan bakar dan berkomitmen mencegah perubahan iklim.

Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 5 tahun 2006, disebutkan bahwa BBN dibentuk untuk memenuhi kebutuhan energi secara nasional. Sedangkan pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kebijakan BBN ditujukan untuk mencapai kemandirian energi.

FYI, Indonesia sampai pernah dikenal sebagai negara yang memproduksi minyak sangat banyak. Namun dikhawatirkan akan menjadi net importer karena ada penurunan produksi. Net Importer ini artinya mengimpor lebih dari yang Indonesia bisa ekspor.

Takutnya naik turunnya harga minyak nasional sangat berpengaruh terhadap kestabilan harga minyak dalam negeri. Secara harga BBM naik sedikit saja warga Indonesia sudah banyak yang protes kan? Oleh karena itu, kebijakan BBN itu dilakukan sebagai strategi mengamankan ketika harga minyak dunia naik, agar kita tidak terlalu terpengaruh.

Tantangan Baru Hadirnya BIOFUEL

Oke, setelah mengetahui saat ini kita bisa menggunakan BBN (BIOFUEL) dalam bahan bakar kendaraan yang umumnya berasal dari kelapa sawit untuk pengganti bahan bakar fosil, dengan tujuan untuk mengurangi emisi.

Ketersediaan bahan bakar pun akan terjaga, tapi dibalik itu semua dikhawatirkan dapat menyebabkan meningkatnya emisi yang berefek pada GRK (Gas Rumah Kaca) loh, yang berasal dari alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Tentu gak mau dong, pakai biofuel tapi membuka lahan yang justru merusak alam. 

Nah, kalau diganti dengan tanaman lainnya seperti tanaman jarak, tebu, dll? Sayangnya, sampai saat ini belum ada yang memproduksi tanaman tersebut secara massal, jika pun diganti harus dipastikan ketersediaannya dalam jumlah banyak. Mampu kah? 

Pembukaan lahan terutama kebun sawit, pada proses produksinya ini yang seringkali menimbulkan deforestasi, pengeringan gambut, sehingga menyebabkan emisi yang lebih banyak dibandingkan asap kendaraan dari bahan bakar fosil. Baik yang disengaja atau tidak, polusi dari kebakaran hutan juga menyumbang pemanasan global hingga menyebabkan perubahan iklim dunia. 

Jadi apa bedanya dengan menggunakan bahan bakar fosil? Hemmm, jadi galau mikirinnya. Apalagi jumlah kendaraan di negara kita saja sangat banyak bahkan terus bertambah 🙈.

Ditambah rancangan mesin kendaraan saat ini masih ada yang belum bisa menerima jenis bahan bakar biofuel. Kemudian, PT Pertamina yang merupakan BUMN selaku pelaksana dan pemberi kewenangan biodiesel saat ini juga belum mewajibkan para pemasoknya memiliki sertifikasi keberlanjutan.

Meskipun begitu, BIOFUEL tetap layak kita perjuangkan sebagai salah satu solusi ketahanan energi nasional.

Karena pada dasarnya sawit tidaklah salah. Tapi, yang salah itu adalah oknum-oknum yang menanam sawit dengan cara yang salah dengan tidak mengindahkan aturan mengenai pengelolaan lingkungan berkelanjutan.

Jika BBN menjadi bagian dari Strategi Komitmen Iklim di Indonesia

Menurut Kak Kukuh ada beberapa prasyarat jika BBN (BIOFUEL) ini menjadi bagian dari strategi komitmen iklim khususnya di Indonesia, seperti diversifikasi feedstock, peningkatan produktivitas feedstock, dan peningkatan ketelusuran feedstock.

Seperti apa itu? Berikut penjelasannya:

1. Diversifikasi Feedstock (Bahan Baku)

Diversifikasi atau penganekaragaman produk dengan unsur yang mirip, hal ini diharapkan mampu menekan demand terhadap kelapa sawit. Jadi, rencana pembukaan lahan khususnya kelapa sawit untuk pemenuhan bahan baku biodiesel diminimalisir.

2. Peningkatan Produktivitas Feedstock

Kelapa Sawit saat ini memang komoditas yang paling masuk akan untuk dijadikan feedstock (bahan baku) karena jumlahnya yang banyak dan sangat mudah untuk didapatkan. Sayangnya, produktivitas lahannya masih sangat rendah.

Tujuan peningkatan produktivitas feedstock ini diharapkan mampu menekan pembukaan lahan yang baru sekaligus mengoptimalkan bahan baku lainnya baik untuk bahan pangan maupun non pangan.

3. Peningkatan Ketelusuran Feedstock

Kita perlu memastikan bahan baku yang didapatkan tidak menimbulkan emisi lebih besar daripada yang bisa kita hemat dari melakukan pembakaran. Ini penting sekali untuk mengetahui darimana sumber biofuel yang kita gunakan, apakah dari perusahaan yang telah memiliki sertifikat keberlanjutan atau tidak.

Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk Mendukung Ketahanan Energi sekaligus Komitmen Iklim di Indonesia?

Pembahasan dilanjutkan oleh pemateri yang kedua yaitu Kak Ricky Amukti yang menampilkan sebuah data dari Permen ESDM Nomor 12 tahun 2015, dimana sudah ditetapkan Pentahapan Kewajiban Minimal Pemanfaatan Biodiesel (B100) Sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak seperti angka yang tertera pada tabel di bawah ini:

Tabel Pentahapan Kewajiban Minimal untuk Pemanfaatan Biodiesel (B100) Sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak

Untuk bisa mencapai penggunaan biofuel untuk menjaga keaamanan energi sekaligus sebagai komitmen iklim, terdapat beberapa langkah seperti terus mendukung kebijakan BBN di Indonesia, kemudian turut menyuarakan pendapat agar pemerintah mau membuka alternatif feedstock dan mengakui bahan pangan maupun non-pangan lainnya sebagai bahan baku biofuel.

Kak Kukuh dari Yayasan Madani Berkelanjutan menyampaikan tiga solusi, yaitu:

1. Petani Sawit Mandiri dalam Rantai Pasok Biodiesel yang Berkelanjutan

Sebelum membahas mengenai solusi lain yang lebih jauh, sebelumnya kita harus ketahui terlebih dahulu rantai pasok Tandan Buah Segar (TBS) dari Petani ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) seperti skema yang terdapat pada gambar dibawah ini.

Skema Rantai Pasok Tandan Buah Segar (TBS) dari Petani ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS)

Jadi, menurut data yang berasal dari BPDPKS & P2EB UGM, kondisi rantai pasok TBS dari petani ke PKS saat ini sangat bervariasi dan panjang hingga akhirnya mengurangi keuntungan petani swadaya (semakin panjang keuntungan petani ini semakin kecil).

Oleh karena itu, ada baiknya melakukan perbaikan dalam skema rantai pasok ini, memang sangat penting terutama bagi petani swadaya. Dengan begitu bagi petani/pekebun sawit mandiri bisa menjadi bagian dari rantai pasok diesel. Lalu, apa keuntungannya?

Berikut beberapa keuntungan jika petani/pekebun sawit mandiri menjadi bagian dari rantai pasok diesel, yaitu:

Melibatkan petani swadaya ke dalam rantai pasok biodiesel akan menguntungkan dari aspek ekonomi maupun ekologi, karena mampu memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat kecil, mencegah deforestasi, serta menurunkan emisi dari keseluruhan proses produksi kelapa sawit.

2. Penggunaan Minyak Jelantah untuk Bahan Baku Alternatif seperti Biodiesel

Berdasarkan data konsumsi minyak goreng di Indonesia tahun 2019, ada sebanyak 13 juta ton atau serata 16,2 juta kilo liter minyak goreng. Dari angka ini, berpotensi menghasilkan biodiesel sebanyak 3,24 juta kilo liter dengan konversi 5 liter minyak jelantah menjadi 1 liter biodiesel.

Nah, masih di tahun yang sama, dari angka sebanyak yang telah disebutkan di atas, hanya 3 juta kilo liter minyak jelantah yang berhasil dikumpulkan di Indonesia dengan 1,6 juta kilo liternya berasal dari rumah tangga perkotaan besar.

Tapi, saat ini sisa minyak goreng bekas yang dapat dikumpulkan sebagai bahan baku minyak jelantah hanya < 18,5% saja. Lalu ke mana ya sisanya?

Berdasarkan data yang diolah dari TNP2K, Traction Enery Asia, 3 juta kilo minyak jelantah yang berhasil dikumpulkan tersebut juga masih dipecah lagi penggunaannya dengan data sebagai berikut:

Data diolah TNP2K, Traction Energy Asia

Ternyata, pemanfaatan minyak jelantah sebagai biodiesel menawarkan harga yang cukup kompetitif dibandingkan penggunaan kelapa sawit. Selain itu, kita juga telah berhasil menghindari pembukaan lahan sekitar 939 sampai 1,5 juta hektar.

Artinya, bila hal ini dimaksimalkan, kita tidak hanya berhasil mengurangi emisi dari sektor transportasi saja tapi juga dari sektor pertaniannya. Pemanfaatan minyak jelantah yang awalnya sebuah limbah tentu sejalan dengan konsep ekonomi sirkular yang mengedepankan nilai-nilai kesejahteraan dan keberlanjutan.

Jadi, kalau punya minyak jelantah alias minya bekas di rumah jangan dibuang ya! Siapa tahu bisa dikumpulkan ke penampung minyak jelantah atau bank sampah, lumayan jadi cuan kan?

Lagipula, dengan menyetorkan minyak jelantah ke pengepul atau bank sampah, selain mendapatkan uang penjualannya, kita akan mendapat manfaat lain yaitu air selokan yang lebih bersih dan tidak berbau, pokoknya lingkungan rumah jadi lebih bersih ya kan.

3. Mengurangi Penggunaan Alat Transportasi yang Berbahan Bakar

Yes, selain dengan mendukung petani sawit mandiri dalam rantai pasok berkelanjutan dan memanfaatkan minyak jelantah untuk bakan bakar alternatif, kita juga bisa mulai untuk menekan penggunaan bahan bakar fosil dengan mengurangi penggunaan alat transportasi berbahan bakar.

Misalnya memilih untuk bersepeda saat beraktivitas di dalam kota atau memilih menggunakan alat transportasi umum ketimbang menggunakan alat transportasi pribadi. Selain menghemat uang dan menghindari macet saat di jalan, kegiatan seperti ini juga dapat mengurangi produksi emisi, serta berdampak baik bagi bumi.

Team Up For Impact #TimeforActionIndonesia 

Bicara soal melakukan kegiatan berdampak bagi bumi, kamu juga bisa ikut berpartisipasi dalam Time Up For Impact loh, dimana kegiatan ini bertujuan untuk kita agar bisa berkontribusi dalam kegiatan pro iklim, sekaligus mengajak lebih banyak teman. Bergerak bersama menuju Indonesia menjadi Climate Super Power dan menyelamatkan bumi.

Selama 6 minggu akan ada 6 tantangan sederhana yang bisa dilakukan untuk mulai berproses mengubah pola pikir agar lebih peduli dengan perubahan iklim. Kamu bisa pilih untuk melakukan satu tantangan yang paling nyaman dan paling mungkin dilakukan olehmu, atau bisa juga melakukan keenam tantanganya.

Saya sudah berpartisipasi, dengan berusaha menggunakan sepeda untuk beraktivitas di dalam kota, selain dapat menjangkau hingga ke sudut-sudut kota dengan mudah, tidak perlu merogoh kocek untuk beli bensin. Jadinya hemat kan?

Yuk, ikutin challange yang ada setiap minggunya, ambil bagian untuk buat perubahan baik bagi bumi yang kita cintai! Kita jadikan kebiasaan bersama-sama, Let’s Team Up For Impat! 💚🌍🌎🌏

#EcoBloggerSquad #MudaMudiBumi #UntukmuBumiku #TimeforActionIndonesia #TeamUpForImpact #PejuangIklim

Referensi:

  • Materi Online Gathering Eco Blogger Squad “Mengenal Lebih Jauh Tentang Biofuel”, pada Jumat 12 November 2021.
  • Bahan Bakar Nabati (Biofuel) https://madaniberkelanjutan.id/2021/10/05/apa-itu-biofuel-bahan-bakar-nabati
Share this post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *