Melindungi Hutan dari Karhutla & Cegah Zoonotic Disease

Untuk mengawali artikel saya kali ini saya ingin mengucapkan Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia! 🌱 Yap, setiap tanggal 5 Juni seluruh dunia memperingati hari lingkungan hidup, semoga ini bukan sekedar ucapan singkat saja, tapi juga saling mengingatkan karena kenyataannya kita tidak hanya menikmati manfaat alam pada hari-hari tertentu saja, namun setiap hari, contoh kecilnya adalah oksigen yang dihasilkan oleh pohon dan dibutuhkan tubuh manusia untuk bernapas. Jadi menurut saya, setiap hari adalah hari lingkungan hidup sedunia!

Bulan Juni, sebenarnya juga menjadi bulan langganan asap Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) bagi orang Kalimantan seperti saya, karena sudah masuk musim kemarau panjang (El Nino) hingga Agustus, ditambah lagi kegiatan pembukaan lahan, perburuan hewan, dan lain sebagainya.

Deforestasi yang terjadi ini menyebabkan banyak sekali dampak negatif yang dialami, seperti kabut asap, terganggunya berbagai kegiatan belajar, ekonomi, transportasi sehingga menimbulkan banyak kerugian, parahnya lagi muncul wabah Zoonotic Disease yang berasal dari hewan liar hingga menyebabkan kematian.

Isu-isu lingkungan seperti ini menjadi polemik yang layak untuk dibahas, agar kita menyadari betapa pentingnya alam sebagai sumber kehidupan manusia di Bumi. Itu sebabnya saya antusias sekali mengikuti kegiatan virtual gathering Eco Blogger Squad yang membahas soal Deforestasi & Zoonotic Disease pada hari Jumat 4 Juni 2021 dengan tema “Cegah Karhutla, Cegah Pandemi” karena pada dasarnya kebakaran hutan pasti punya kaitan yang sangat erat dengan pandemi yang ini kita alami saat ini.

Peserta Eco Blogger Squad Virtual Gathering

Pertemuan virtual kali ini merupakan kolaborasi antara AURIGA (Yayasan AURIGA Nusantara) dan Yayasan ASRI (Alam Sehat Lestari) sebagai narasumber, yang difasilitasi oleh HIIP Indonesia dan BPN (Blogger Perempuan Network) bersama Eco Blogger Squad sebagai peserta.

Beberapa hari sebelum kagiatan dimulai semua peserta menerima sebuah marcendise spesial berupa Tumbler Cantik dengan desain premium berlogo Eco Blogger Squad. Marcendise ini tentunya ramah lingkungan dan bermanfaat untuk kegiatan sehari-hari.

Tumbler dari Eco Blogger Squad

Untuk pemateri pada acara dalam rangka menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini dibagi menjadi dua sesi, pertama materi tentang Karhutla dibawakan oleh Dedy Sukmara yang merupakan Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara. Sedangkan materi Zoonotic Disease disampaikan oleh Dr Alvi Muldani selaku Direktur Klinik Alam Sehat Lestari (Yayasan ASRI).

Cegah Karhutla, Cegah Pandemi

Karhutla & Pandemi, memang ada hubungannya? Seperti yang sudah saya singgung di awal artikel ini karhutla pasti punya kaitan yang sangat erat dengan pandemi yang ini kita alami saat ini. Jelas saja, kita tahu Pandemi Covid-19 merupakan virus yang ditularkan dari hewan liar yaitu kelelawar. Jika ditarik sedikit sejarah, sebenarnya pandemi seperti ini juga sudah pernah dirasakan orang-orang sebelum kita lahir bahkan masih ada virus lainnya yang belum benar-benar musnah dari bumi ini.

Contohnya SARS/MERS, Ebola, HIV, Malaria, Virus Nipah, Yellow Fever dan lain-lain. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari semua virus yang disebutkan merupakan virus yang berasal dari hewan liar seperti kelelawar, sipanse, tikus, trenggiling, nyamuk; itu artinya hewan-hewan ini dapat dikatakan sangat dekat dengan kehidupan manusia.

Dekatnya hewan-hewan liar ini diakibatkan oleh berbagai hal misalnya rusaknya ekosistem mereka di tempat asalnya seperti deforestasi kebakaran hutan, degradasi, fragmentasi, perburuan hewan liar untuk dijual atau dipelihara, lebih parahnya lagi dikonsumsi. Nah sekarang, siapa yang harus disalahkan?

Hal yang telah terjadi ini dapat terus menerus berulang karena kurangnya edukasi atau pengetahuan manusia mengenai dampak kerusakan ekosistem alam seperti kebakaran hutan. Bukan hanya menyebabkan bertambahnya jumlah virus baru, kerusakan hutan juga dapat menyebabkan dampak lainnya seperti perubahan iklim, kelangkaan air, menurunnya tingkat kesehatan, lebih buruknya terjadi bencana alam yang mungkin akan memusnahkan manusia yang ada di bumi.

PR besar kita sekarang adalah bagaimana menjaga ekosistem alam agar tetap stabil dan pandemi berikutnya dapat dicegah, dengan terus mengedukasi diri kita dan orang-orang sekitar, baik yang tinggal di daerah perkotaan hingga dekat dengan hutan. Sehingga pandemi berikutnya dapat dicegah dan kita pun tetap merasakan fungsi alam dengan baik untuk sekarang dan generasi mendatang. Ingat! kelestarian hutan bukan hanya tugas dari orang-orang yang berkecimpung dalam bidang kehutanan saja tapi tanggung jawab kita semua yang tinggal di Bumi.

Bencana Tahunan Kebakaran Hutan dan Lahan

Sebelum pembahasan lebih jauh, mari kita lihat beberapa data aktual yang disampaikan oleh Dedy Sukmara terkait Karhutla yang menjadikan Indonesia sebagai penyumbang kenaikan emisi karbon di dunia. Bayangkan saja, di tahun 2019 lalu karhutla melepaskan 708 juta ton emisi gas rumah kaca. Jumlah ini hampir dua kali lipat lebih besar dibanding kebakaran di sebagian Amazon, Brazil (CAMS, 2019).

Grafik Kebakaran Hutan di Indonesia

Tahun 2015 juga menjadi tahun yang paling parah saat itu, bahkan saya sangat merasakan dampak secara langsung dimana banyak penerbangan dibatalkan, sekolah diliburkan (bagaikan jadwal libur hari besar nasional), rumah sakit ramai karena penyakit ISPA, bahkan ada meninggal dunia. Kemudian kejadian itu berulang pada beberapa tahun setelahnya termasuk tahun 2018 dan 2019.

Kabut Asap Agustus 2018, sekitar Kota Pontianak, Kalimantan Barat

Saya sempat mendokumentasikan beberapa foto kondisi sekitar rumah dengan menggunakan drone pribadi dan melihat situasi dari ketinggian sekitar 60 meter pada tanggal 24 Agustus 2018. Kemudian hal sama terjadi kembali bahkan lebih parah tiga kali lipat di tahun 2019 daripada tahun sebelumnya, tahun 2019 termasuk kondisi yang juga terbilang mengkhawatirkan.

Belum selesai masalah karhutla, masyarakat justru harus berjibaku lebih berat karena harus menghadapi kabut asap sekaligus Covid-19 di tahun berikutnya.

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Dedy Sukmara pada virtual gathering ini, sebagian besar titik panas sepanjang 20 tahun terakhir berada di lahan gambut seperti Riau, Kalimantan Tengah, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Papua (kebakaran di lahan gambut memang sulit untuk dipadamkan jika terbakar).

Peristiwa karhutla pada tahun 2019 juga telah menghanguskan sekitar 1,6 juta hektar hutan di Indonesia, dimana 31% dari total area yang terbakar tersebut berada di lahan gambut. Dari total 14,9 juta luasan gambut Indonesia, diidentifikasi adanya pola kebakaran gambut yang berulang pada periode 2015-2019 di sebagian besar area gambut lindung, yang mana area ini seharusnya terjaga dari gangguan apapun.

Beberapa penyebab kebakaran ini dibagi menjadi dua faktor, pertama faktor alami seperti petir, aktivitas vulkanik, dan ground fire. Kemudian faktor manusia seperti pembukaan lahan dengan membakar, perburuan, pengembalaan, konflik lahan dan aktivitas lainnya. Bahkan ada beberapa kejadian hutan sengaja dibakar untuk menangkap hewan liar, sungguh ironis bukan?

Jika hal ini terus menerus terjadi, siap-siap bencana yang sama akan terulang lagi disetiap tahun. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Auriga memberi enam rekomendasi untuk mencegah karhutla, yaitu:

  • Memperluas moratorium hutan dan gambut.
  • Meningkatkan penegakan hukum.
  • Restorasi hutan dan gambut terdegradasi.
  • Mendukung komunitas pemadam kebakaran dan kapabilitas pemantauan.
  • Mendukung infrastruktur hidrologis dan mendorong kapasitas respon dini.
  • Memberi insentif ekonomi untuk tidak membakar hutan.

Apakah enam hal diatas terasa berat? Jika ingin yang lebih sederhana dan mudah dilakukan, kita dapat melakukan disiplin untuk diri sendiri. Misalnya berkomitmen untuk hanya mengonsumsi produk yang memiliki eco label sehingga mendukung perusahaan yang berkeadilan dalam proses produksinya, dan menurunkan permintaan konsumsi hewan liar dengan tidak menjual beli, memelihara apalagi mengonsumsinya.

Eco Label

Turut serta dalam menjaga hutan dan ekosistem alami di Bumi. Berarti kita ikut serta dalam pengembangan ekosistem agar tetap seimbang, hal ini sangat penting dilakukan untuk memberikan kita sumber kehidupan seperti udara yang bersih, sumber air dan lain sebagainya.

Penyakit Zoonosis Karena Deforestasi

Dilanjutkan oleh Dr Alvi Muldani pada sesi kedua, beliau menyampaikan bagaimana penyakit Zoonosis muncul akibat deforestasi. Saat deforestasi terjadi, beberapa spesies menurun namun ada juga yang beradaptasi. Spesies yang beradaptasi inilah yang meningkatkan risiko Zoonosis.

Dengan bukti yang ada, manusia perlu menyeimbangkan produksi & konsumsi makanan serta menjaga hutan. Karena dengan terjaganya hutan berarti habitat hewan liar ini tidak terganggu. Mereka bisa tetap berada di dalamnya sehingga tidak menyebarkan pantogen. 

Pantogen merupakan bakteri yang tidak berakibat negatif bagi hewan, tapi dapat menyebabkan penyakit berbahaya bagi manusia. Contohnya virus nipah, yellow fever, malaria dan ebola. Empat wabah ini muncul karena habitat yang terfragmentasi.

Zoonosis dan Deforestasi

Virus nipah misalnya yang muncul pada awal tahun 1998, virus ini berasal dari air liur kalelawar buah yang hidup di kawasan Asia Tenggara. Di Malaysia, wabah ini muncul akibat kabut tebal dari deforestasi yang disebabkan ladang berpindah.  

Ada juga wabah yellow fever yang disebabkan virus di tubuh primata lalu ditransmisikan oleh nyamuk. Tahun 2016 dan 2018 wabah ini menyerang Amerika Selatan. Berdasarkan penelitian ini diakibatkan habitat yang menyempit. Saat habitat terganggu, hewan-hewan liar akan mencari makanan ke permukiman warga.

Jika kontak dengan hewan liar semakin sering terjadi, resiko penularan penyakit dari hewan ke manusia juga semakin besar. Kontak yang dimaksud bukan berarti kita menyentuh langsung hewan-hewan ini, tapi bisa saja lewat gigitan nyamuk bahkan mengonsumsinya.

Peran kita: Profesi Kita, Konsumsi Kita, Investasi Kita, Ingatkan & Bantu Negara. Ketika bicara tentang upaya menjaga hutan, sebenarnya kita sedang membicarakan upaya untuk menjaga diri sendiri. Salah satu yang memungkinkan untuk dilakukan adalah mengubah pola konsumsi.

Kita dapat melakukan dari langkah yang kecil yaitu tidak mengonsumsi satwa liar, cukup mengonsumsi sumber makanan yang sudah pasti sehat seperti sayur/buah yang dibudidayakan atau hewan yang diternakkan olah para peternak. Dengan hal ini secara tidak langsung kita juga turut menurunkan jumlah permintaan industri, sehingga orang-orang tidak lagi berburu hewan liar apalagi sampai membakar hutan untuk mendapatkan hewan tersebut.

To Stop Pandemic

Melindungi hutan dari Karhutla dengan hindari membakar apapun di area lahan/hutan, jangan membuang puntung rokok (apalagi masih menyala) ke sembarang tempat, dan cara-cara lainnya yang mendukung pelestarian keanekaragaman hayati terutama yang ada di hutan. Ini merupakan cara baik agar satwa liar dapat hidup selayaknya rumah mereka dan tetap menjaga keseimbangan alam.

Oh iya, kita juga bisa ikut ambil bagian dalam menyebarkan informasi tentang kehutanan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat lewat media sosial dan mengadopsi bibit di Yayasan ASRI. FYI, Yayasan ASRI merupakan satu-satunya klinik di Indonesia bahkan di dunia yang menerima pembayaran dengat bibit pohon.

Ingat ada banyak cara untuk kita saling bekerja sama dalam hal melindungi keanekaragaman hayati di Bumi. Kita bisa memulainya dari diri sendiri, terus belajar dan membagikan yang baik, pikirkan bahwa dimana lagi kita akan tinggal selain di Bumi. Bersama-sama saling menjaga dan menyelamatkan dari pandemi, jangan sampai nanti ada pandemi lainnya lagi.

Semoga bermanfaat, be awesome and save nature! Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia!! #EcoBloggerSquad

Share this post:

4 thoughts on “Melindungi Hutan dari Karhutla & Cegah Zoonotic Disease

  1. Betul Kak, saya pun sebenarnya termasuk orang yang belum benar-benar paham efek dari Karhutla dan apa hubungannya dengan pandemi seperti saat ini. Ternyata ada hubungan erat dengan berbagai bencana dan pandemi.

  2. Karhutla ini memang permasalahan yang pelik ya. Apalagi kalau sudah di ladang gambut. Itu yang terbakar bisa 7-10 meter di bawah tanah padahal diatas tanahnya tidak ada kobaran api.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *