Bukit Bahu, Tutup Selamanya (?)

Sebelum menjawab sebuah pertanyaan yang kutulis di judul, aku akan buat tulisan ini secara runut sesuai waktu dilakukannya trip Bukit Bahu part 2 kali ini. Aku cicil pelan-pelan, karena butuh beberapa minggu untuk menulis dengan detail di sela aktivitasku yang sok sibuk ini hehe. Ditambah akibat aku menunda-nunda (lagi) menulis, jadinya artikel ini tayang lebih dari sebulan setelah perjalanan sebenarnya.

Perjalanan yang aku oke’kan H-1 ini berawal dari kegagalan trip yang justru aku rencanakan seminggu sebelumnya. Ibaratnya daripada weekendku ‘sia-sia’ karena di hari tersebut aku sudah mengosongkan jadwal jadinya aku ikut open trip ke Bukit Talogah bersama teman-teman SCK (Summer Camp Khatulistiwa), pikir aku pun belum pernah ke bukit di Sanggau yang sedang hits akhir-akhir ini.

Namun, tiba-tiba malam sebelum keberangkatan plan tersebut berubah seketika karena satu diantara anggota group whatsapp kami ternyata sedang mencoba untuk dapat izin agar Bukit Bahu boleh dikunjungi lagi setelah ditutup sejak tahun 2019. Negosiasi pun kami anggap cukup berhasil, namun dengan catatan ini masih masa percobaan dan jumlah pesertanya dibatasi.

Long short story, Bukit Bahu merupakan bukit yang memiliki ketinggian 310 mdpl, lokasinya berada di Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau. Aku terakhir ke Bukit Bahu di awal tahun 2018, aku juga menulis cerita perjalanannya di blog ini dengan judul “Bukit Bahu, Padang Ilalang di Batas Negara” artikelnya masih bisa kalian baca hingga hari ini, bahkan masih page one di pencarian Google dengan kata kunci “Bukit Bahu”. Artikel tersebut juga dilengkapi video perjalanan yang diunggah di channel youtube dengan akun Djelajah Borneo yang hingga hari ini sudah ditonton lebih dari 41ribu orang.

2017-2018-2019 menjadi tahun ter-hits Bukit Bahu, karena selain memiliki view padang rumput ilalang yang mempesona, bukit ini juga memiliki ketinggian relatif mudah dijangkau termasuk bagi pendaki pemula. Ditambah gercepnya dunia perkontenan sosial media, membuat bukit ini semakin cepat tersebar informasinya hingga berujung ramai dikunjungi a ka VIRAL.

Entah bangaimana dan kapan kejadiannya secara pasti, hal tersebut jusru malah membuat Bukit Bahu ini sepakat untuk ditutup sementara oleh warga sekitar sampai waktu yang belum ditentukan. Beberapa isu yang beredar simpang-siur bahwasannya Bukit Bahu sempat mengalami kebakaran, banyak sampah, sengketa tanah, dijadikan lahan sawit, hingga isu masyarakat adat yang meningal dunia.

Meskipun banyak bukit-bukit lainnya di sekitar Bukit Bahu seperti Bukit Bellew, Bukit Batu Tuka, Bukit Bakmunt, dan lain-lain tapi rasanya Bukit Bahu punya sesuatu yang tak tergantikan terutama yang pernah menginjakkan kaki di sini.

Sabtu, 7 Desember 2024 perjalanan aku mulai dari Kota Pontianak pukul 7 pagi bersama beberapa tim Pontianak lainnya yaitu Yuda, Indra, Aheng, Indri, Mutia, Lilis, dan Ramli. Lalu kami bertemu dengan tim dari kota/kabupaten lainnya seperti Bengkayang, Sambas, Sanggau, Sintang, di titik kumpul di salah satu desa Kecamatan Kembayan.

Semuanya sepakat untuk sama-sama ke perangkat desa terlebih dahulu lalu ke rumah ketua RT serta warga, untuk izin, parkir kendaraan, hingga memberikan kontribusi karena kami harus menggunakan jasa guide dan buka jalur.

Foto dulu sebelum naik

Setelah semua persiapan selesai, pukul 4 sore kami pun mulai pendakian, yang sengaja naiknya agak sore agar tidak terlalu panas, tapi dengan harapan sempat bertemu sunset. Seperti kataku bukit ini tidak begitu tinggi, hanya sekitar 300mdpl. Meskipun begitu tetap saja melelahkan terutama yang tidak terbiasa mendaki, atau umur yang tidak muda lagi.

Naik terus!

Perjalanan naik bukit ini benar-benar santai, tidak buru-buru, selagi menunggu guide paling depan membuka jalur yang telah lama tertutup, timku kali ini juga terbilang agak ramai yaitu 20 orang. Kami melewai beberapa jalur mulai dari ladang padi, pepohonan tertutup (meskipun sendikit), sisanya jalur ilalang perbukitan terbuka dengan semak cukup tinggi (dan tajam), beruntunglah aku yang pakai baju lengan panjang, celana panjang, dan sepatu.

Oh iya, aku juga baru sadar perjalanan ini dilakukan pada bulan Desember, yang kemungkinan besar adalah musim penghujan, tapi perjalanan yang kudapati malah sebaliknya, dari pergi hingga pulang langit cerah justru menjadi teman baik perjalanan kami. Itu artinya apa? Kami anggap bahwa Tuhan mengizinkan perjalanan kami, karena sudah izin orangtua di rumah sebelum pergi 😊

Sore di Bukit Bahu

Pukul 5 sore, kami sudah sampai di puncak, satu persatu para anggota mulai mendirikan tenda sambil sesekali berswafoto karena matahari mulai menampakkan warna oranye bak renjana yang mulai meninggalkan hari.

Memilih tempat camping di Bukit Bahu tidak begitu sulit, di puncak bukit ini kontur tanahnya cukup datar, dilapisi lalang di bawah tenda, membuat tidur kami sepertinya tidak perlu menggunakan matras. Semakin malam, lampu-lampu tenda mulai dinyalakan, sebagian sibuk memasak, sebagian ada yang sudah posting di sosial media, yak di atas bukit ini ada sinyal! Tak seperti kunjungan pertamaku enam tahun silam.

Tenda Naturehike

Namun, demi menghemat daya perangkat digital, sebagian besar lebih memilih berkumpul membentuk lingkaran menyeduh kopi sambil ngobrol-ngobrol ringan lalu istirahat. Setidaknya sejenak jauh dari urusan kota, dunia maya, atau pun gadget juga ada baiknya, istilahnya tuh healing’ atau ‘enjoy the moment’.

Minggu, 8 Desember 2024, pukul 4 pagi aku sudah terbangun mengintip keluar namun ternyata masih gelap, haha ya iya lah. Waktu-waktu seperti ini membuatku tak ingin melewatkan sunrise yang pernah aku jumpai di bukit yang sama. Dengan sudut yang sama sudah ku persiapkan tripod dan kamera untuk membuat timelapse.

Sunrise di Bukit Bahu

Selamat pagi dari Bukit Bahu!!! Matahari terbit berlahan diiringi gumpalan awan yang semakin lama semakin tebal. Terlihat sangat tinggi kan? Padahal tidak sama sekali, mungkin karena daerah di sekitarnya juga masih jauh dari kata polusi.

Seperti yang terlihat di gambar, Bukit Bahu yang sekarang benar-benar memiliki rerumputan yang sangat rapat, tinggi, dan tidak ada pohon sawit seperti isu-isu yang terdengar sebelumnya. Bukit Bahu semakin asri dengan nuansa alaminya yang benar-benar terjaga tanpa kehadiran banyak manusia.

Rumput Ilalang di Bukit Bahu

Sejenak di sini aku sambil berpikir, setelah ini bagaimana ya kelanjutannya? Apakah bukit ini benar akan dibuka kembali? Tentu bisa jadi peluang usaha dan jadi punya penghasilan tambahan untuk warga sekitar. Tapi di sisi lain ada ketakutan juga pada diri, bagaimana kalau viral lagi, rusak lagi? Apa lebih baik ditutup saja kan? Agar Bukit Bahu terus seperti ini.

Sebab setelah satu dua story yang sudah naik di sosial media direspon dengan cepat oleh beberapa teman-teman online lainnya dengan isi pertanyaannya yang hampir sama yaitu “Apakah Bukit Bahu sudah buka kembali?“.

Ditutup atau tidak tetap saja akan ada pro-kontra, beberapa hal-hal yang ditakutkan bisa saja terjadi, apalagi demi kepentingan pribadi atau eksistensi. Dibukanya Bukit Bahu belum ada keputusan yang jelas setelah seminggu perjalanan kami. Hingga di hari ke delapan, setelah satu tim pendaki lainnya naik di hari tersebut pula Bukit Bahu dinyatakan Tutup Selamanya.

Foto Bersama sebelum turun

Terima kasih Bukit Bahu, terima kasih sudah menjadi cerita masa muda kami yang mungkin tak akan terulang kembali, terima kasih setiap kesempatan, pertemuan dan perpisahan selalu menciptakan cerita yang tak terlupakan.

Untuk teman-temanku yang ada di tulisan ini, sampai jumpa kembali di perjalanan lainnya. Semoga kita dapat bertemu kembali di lain kesempatan, salam lestari 🍃

Share this post:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *